Tentang Mau/Gak Mau Diajak Hidup Susah





Eeerrr..
Tiba-tiba gambar ini muncul di social media dan langsung menuai jempol dan 'love' dari para wanita. Komen-komen menyambut 'equality' ini pun ramai menghiasi post tersebut. Well.. It is true.. Siapa sih yang mau hidup susah? I'm a woman too, I love pretty things. I love being pampered. But ridiculously I die a little when I read this words. Why??

Well.. Mungkin karena pertama, standar susah dan senang setiap orang berbeda. Some people akan bahagia hanya dengan hal-hal kecil, tapi beberapa mungkin lebih sulit untuk menjadi bahagia. Tapi bagaimanapun, hidup senang itu tidak akan bisa kamu dapatkan jika kamu tidak bisa 'berdamai' dengan diri sendiri. Tidak ada satu orang pun yang bertanggung jawab atas kebahagiaan kita, kecuali kita sendiri. Bahkan tidak orang tua kita, tidak adik kita, tidak suami kita. Jadi, selama kita belum bisa berbahagia & bersyukur dengan diri sendiri, mau se-perfect apapun orang di sekitar kita (baca: suami), kita akan selalu bisa mencari celah untuk membuat diri kita tidak nyaman/bahagia bersama dia.

Pernah dengar quote nya Shakespeare "expectation is the root of all heartache"? I think that's totally true. Apa sebenarnya tujuan menikah? Untuk bahagia? Tentunya.. Tapi sekali lagi, apakah kebahagiaan itu lantas mutlak menjadi tanggung jawab suami kita sepenuhnya? Well, ladies.. Jika kita menikah dan berharap suami kamu akan begini begitu bla bla bla.. Kita akan ended up kecewa. Pernikahan bukanlah akhir dari kisah cinta seseorang, itu adalah awalnya. Awal dari semua perjuangan bersama suami-istri. Mau ngarep? Berharaplah setinggi-tingginya sama Yang Maha Kuasa, jangan sama makhluk-Nya yang jelas-jelas pasti penuh dengan kekurangan. Terlebih lagi, just see.. Jika kamu masih bisa membaca tulisan saya sekarang, artinya kamu masih punya akses terhadap internet, handphone, laptop, dan sebagainya. Masih banyak orang yang untuk makan sehari-hari aja suah. So tell me again, apa sih hidup susah?

Kedua.. I think it's funny untuk menyatakan bahwa semua pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, beres-beres) itu adalah pekerjaan 'rendahan' sehingga jika seorang istri mengerjakan itu semua sendiri hidupnya bisa digolongkan menjadi hidup susah & tidak layak. LOL! Let me tell you something. Memasak, membersihkan rumah, mencuci adalah BASIC LIFE SKILLS yang sebaiknya memang dimiliki oleh semua orang mau itu laki-laki maupun perempuan. Jika kita lihat bagaimana orang di negara maju tinggal, let's say Australia atau Korea (karena saya pernah tinggal disana), mereka tidak punya ART tapi hidup mereka lancar-lancar saja tuh. Bahkan jika dibandingkan dengan pendapatan orang Indonesia kan pendapatan di luar negeri jauh berkali-kali lipat, tapi mereka masih bisa mengurus diri sendiri. Ditambah, di gambar itu dikatakan bahwa tidak sedikit perempuan yang mengejar pendidikan demi menghindari hal tersebut (memasak, mencuci, dan lain-lain). Lagi-lagi HA HA HA.. Andai saja si penulis tahu bagaimana kehidupan para pelajar rantau, yang jauh-jauh menimba ilmu sampai ke luar negeri, semuanya juga mengerjakan itu semua sendiri. Tidak ada yang menganggap kita not cool atau ndeso jika kita memasak dan nguplek dapur, because that's just simply what people do to keep alive. Bersyukur alhamdulillah di Indonesia kita masih bisa punya asisten, tapi menurut saya basic life skills ini tetap harus kita kuasai. Disini, saya dan suami bersama-sama berbagi tugas untuk memastikan urusan rumah dan Zeya tetap tertangani. I think that's equality (bukan sekedar 'gue ga mau ngerjain ini. Titik').

Ketiga.. Saya adalah anak perempuan yang dirawat baik-baik, dijaga, dan disekolahkan tinggi oleh orang tua saya, tapi apakah itu lantas membuat saya menyandarkan kebahagiaan saya sepenuhnya pada suami saya? Tidak, karena saya percaya, ada pengorbanan yang dilakukan ibu dan ayah saya untuk bisa merawat dan mendidik saya sampai sekarang. Dibalik saya yang sekarang, ada 'hidup susah' nya orang tua saya. Mungkin ada capeknya ibu saya mengurus rumah, deg-degan nya ibu saya menunggu ayah pulang dinas luar kota, dan kesusahan lainnya yang dialami ibu saya demi kelancaran mendidik dan merawat anak perempuannya. Jadi kenapa saya harus takut untuk 'hidup susah'? Saya ingin Zeya nantinya tumbuh menjadi anak yang mandiri, pekerja keras, dan menghargai pentingnya proses. Tidak ada salahnya saya mencontohkan itu kan? Seperti layaknya ibu saya mencontohkannya pada saya dulu.

Keempat.. Ini pertanyaan besarnya sih. Jika memang hanya ingin hidup senang, lantas apa kabar dengan 'for better for worse' dalam pernikahan? Sudahlah para wanitah! Daripada kita pusing-pusing berharap tinggi untuk disenangkan oleh suami, lebih baik kita fokus untuk menjadi istri dan ibu terbaik bagi keluarga. Percaya sajalah dengan kemampuan diri kita. We are women, and it runs in our DNA. Bagaimanapun, suami adalah cerminan istri karena pernikahan adalah interaksi dua arah. Jika istri do the best, saya yakin suami juga akan do the best. Contoh kasusnya; karena suami saya tahu saya akan mengurus rumah tangga sendiri dan banyak memasak, dia memilihkan apartment yang sangat layak dan baik untuk saya. Padahal saya gak minta!

Kelima.. laki-laki itu tanggung jawabnya bukan hanya kepada istri dan anaknya. Tapi juga kepada ibunya, adik perempuannya dan saya tau tidak sedikit pria yang masih harus menanggung beban keluarga yang cukup berat bahkan setelah menikah. Keadaan seperti itu mungkin akan sedikit membuat istrinya 'hidup susah'. Tapi lagi-lagi, memangnya akan sesusah apa sih? Unless you marry a criminal, saya yakin sesusah-susahnya pun seorang suami tidak akan sampai membiarkan istrinya kelaparan.

Terakhir, mungkin saya aja yang 'bego' sih mau diajak 'susah'. Hahaha.. Yang jelas sampai 3 tahun pernikahan saya dan suami tinggal di kost-kostan di Jakarta (sempat yang tanpa AC), lebih sering LDR, harus banyak menabung, bahkan sampai sekarang tinggal di Seoul pun saya harus mengurus bayi sendiri dan jadi babu di rumah saya sendiri. Tapi saya happy saja sih dan tetap menganggap suami saya pria paling baik sedunia. Ya sudahlah.. Saya yang aneh kali, dan saya sadar kalau pendapat saya ini belum tentu bisa diterima banyak orang. Mungkin kadar hormon testosterone saya lebih tinggi dibandingkan perempuan lain sehingga untuk hal seperti ini saya tidak bisa sepakat. Hehehe..

Peace, love, and gaul (90-an banget). :D

PS: tidak perlu minta izin, jika artikel ini dirasa bermanfaat, silakan share. :)

Comments

  1. A very well written opinion! Feminism they said, Equality they said..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkw.. Iya Mbak.. ^^ Thank you sudah mampir ya mbak..

      Delete
  2. Te O Pe Be Ge Te sister, anak sekarang bilang 'koplak'. But best-lah!

    ReplyDelete
  3. Semoga Allah Swt memberikan keberkahan kepada keluarga sister n mengumpulkan kembali di Surga Nya kelak atas perjuangan sister mendampingi suami dan ituh luar biasa bingits. Two thumbs up for you n husband ... Amin yaa Rabb

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin ya Rabb.. Trims doanya bro. Barakallah for you too.. :)

      Delete
  4. Tamparan berat buat para wanitah yg menganggap rendah pekerjaan rumah :), keep posting sista..saya sangat sependapat dengan artikelnya ..two thumps to you sist :D

    ReplyDelete
  5. semoga sebagian wanita memiliki pemikiran seperti ini. :))

    ReplyDelete
  6. Semoga sebagian wanita memiliki pemikiran seperti ini. :))

    ReplyDelete
  7. Refreshing. Bosan dengar pendapat para wanita indonesia yang semuanya sama. Semuanya bilang "cuma ngurus rumah dan anak AJA". Padahal juga belum tentu bisa melakukan yang "AJA" itu.

    ReplyDelete
  8. Yang bikin sudah itu kurangnya bersyukur. Da best mbaa tulisannya ♡

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts