Belajar dari Baju Kesayangan

Dulu pas hamil Zeya seneng banget karena bakal punya anak cewe. “Ada yang didandanin” ceunah. Beli-beli baby clothes yang lucu2 dsb. Seiring bertumbuhnya dia, ternyata oh ternyata Zey tumbuh jadi anak yang aktif & sangat nyaman pakai kaos dan legging..
Saking sukanya, sampai-sampai pas kita ngobrolin tentang baju penghuni surga dan betapa Allah akan kasih banyak pilihan baju yang indah2 disana dia bilang, “Aku maunya pilih kaos & legging aja” 😌

Sempet agak gemesss karena baju yang dipake itu-itu aja. Tapi lalu kujadi bercermin ke diri sendiri..
Zeya (& teman-temannya) masih berada di masa fitrahnya terjaga, nafsu (atau astral body di bahasa waldorf) pun belum masuk dan belum mempengaruhi pilihan atau penilaian mereka. Mereka bermain dan bersenang-senang bersama tanpa ada judgement ini itu sama penampilan. When holiday comes, they can be in pyjamas until 12 am but still have fun together. 

Semakin besar, lumayanlah variasi bajunya. Bisa pakai dress kaya gini, 
tapi tetep bahannya kaos. :)


Ke-insecure-an itu muncul seiring kita bertambah dewasa & bikin kita jadi attach banget sama physical body kita. Dalam ilmu anthroposophy, kemelekatan kita terhadap sesuatu bisa menghalangi diri dari kebebasan (freedom). Freedom untuk apa? Sepemahamanku sederhananya adalah freedom to do the right thing and to do the thing right.. Freedom to find the true meaning behind something..

Ada masanya penilaian manusia akan penampilanku tuh penting banget. Apa yang melekat di badan seolah-olah memang jadi siapa diriku. Tapi melihat anakku yang tidak peduli dengan apa yang orang bilang menggelitikku untuk mengunjungi lagi values apa yang aku imani.. Hingga akhirnya sadar sendiri..

“That I’m not what I’m wearing”


Bukan, bukan berarti jaga penampilan gak penting & jadi yaudalah blah bloh aja. Tetep bolelah jadi mamak cetar sesekali (gelay 🤣), butttt my self values are not defined on what clothes I’m wearing, how much my bag cost, and whether I put concealer or not. Pada akhirnya, baju seharga puluhan ribu & jutaan rupiah punya fungsi yang sama. Tas seharga ratusan ribu dan tas puluhan juta punya fungsi yang sama.. Eh bukan berarti gak boleh punya juga, the point is apapun yang dipake, jangan sampe bikin kujadi tidak nyaman sama diri sendiri.. Mau pake tas longsyong kek syonnel kek, atau nenteng totebag kopi kenangan ya ini tetep si Bintan dengan semua jiwa raganya (hazek 😎).

“Tapi feel nya beda”
“Tapi itu temen-temenku juga kaya gitu”
“Nanti dibilang aneh kalo pake ini/itu”
“Semua orang pake masa aku engga”
“Ntar disangka gak sukses kalo ga pake ini/itu”

Well.. Biasanya kalo masih ada pikiran-pikiran kaya gitu, berarti aku perlu kontemplasi lagi sama nilai diri. Apa sih yang penting buatku, apa bener circle ku akan ngejudge penampilan, atau jangan2 kusendiri yang suka ngejudge orang hingga akhirnya habit itu tercermin ke penilaianku akan diri sendiri? Karena balik lagi kalau berkaca sama anak2, human don’t judge each other’s appearance, Allah created us in various “forms” but only our heart (iman) that flow through our hands (akhlak) that matter to Him, so what’s the point of judging?

Jadi untuk Zeya, kubiarkan dia pakai apa yang menurut dia nyaman, namun tetap dalam boundaries. Selama tetap menjaga aurat & bajunya sesuai dengan tempat & waktunya (gak juga ke kondangan pakai kaos & legging 😂).. Di luar itu, silakan pilih sesukanya. Dan buatku sendiri, I also can wear whatever comfortable for me because what I’m wearing is not who I am. I’m beyond my physical body and I believe that people who are truly kind would appreciate me for who I am, people who truly love me would love me wholeheartedly, dan itu cukup❤️

Wallahu 'alam, semoga post ini bisa membawa manfaat. Feel free to share, namun di era siapapun bisa jadi apapun asal bisa ngonten ini, marilah tetap menjaga santun dengan memention sumber saat mengutip. :)


Love,
B

Comments

Popular Posts